Seminggu setelah tiba dari melakukan lawatan di Arab Saudi, mendadak ada dorongan batin untuk menuliskan sedikit pengalaman ini kepada rekan santri. Oleh karenanya, malam ini saya mencoba membuka laptop kemudian memunculkan memori saya manakala melakukan salah satu perjalanan penting dalam hidup saya.
Alhamdulillah atas kuasa Allah Swt, saya berkesempatan memperoleh hibah program dari Kementerian Agama RI di Arab Saudi. Berkunjung dan melakukan pengabdian di Sekolah Indonesia Riyadh selama 6 hari. Di sana, saya berkesempatan untuk melakukan diskusi dan berbagi praktik baik mengenai pengembangan moderasi beragama di sekolah.
Setelah menuntaskan tugas di Riyadh, saya melakukan perjalanan menuju ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah umroh. Namun rasanya kurang lengkap apabila di Mekkah tidak bersinggah ke Pemakaman Ma’la yang letaknya tidak begitu jauh dari Masjidil Haram. Bagaimana jiwa ini tidak merasa terpanggil, karena di sana terkubur jasad maha guru kita bersama, yakni simbah KH. Muslih bin Abdurrahman yang tidak lain adalah guru dari kiai kita, Almarhum Syekh Ahmad Mahdum Zen.
Hari demi hari, saya menunggu waktu yang tepat untuk hadir di pemakaman Ma’la. Rasa penasaran dan tidak sabar terus saja menghantui pikiran saya. Wajar saja, karena sudah belasan tahun saya berupaya mengirimkan doa dan tahlil kepada KH. Muslih bin Abdurrahman. Sematan nama beliau selalu saya hadirkan di awal tahlil sebagaimana yang saya tujukan juga untuk simbah saya sendiri.
Singkat cerita, hari sabtu sore tepatnya. Saya mengajak teman untuk bergegas menuju ke Ma’la dengan mengendarai taxi dari Sekolah Indonesia Mekkah. Sejak berangkat dan di perjalanan saya tidak henti-hentinya berdoa agar dimudahkan masuk ke pemakaman tersebut. Beberapa kali saya mendapati narasumber di sana, tidak tentu pemakaman Ma’la dibuka. Pemakaman dibuka biasanya ketika ada alasan tertentu, seperti adanya orang meninggal dan akan dikebumikan di sana.
Pemakaman Jannatul Ma’la atau sering disebut Ma’la merupakan lokasi pemakaman yang hingga kini masih tertata rapih. Beberapa keluarga Rasulullah yang dimakamkan di Ma’la seperti, Sayyidah Khadijah (istri), Aminah (ibu), Qasim dan Abdullah (anak), Abu Thalib (paman), dan Abdul Muthalib (kakek), termasuk ulama Indonesia yang juga dikebumikan di sana antara lain Syekh Nawawi Al Bantani dan KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen) yang meninggal pada tahun 2019 lalu.
Alhamdulilah, berkat kuasa Allah ketika turun dari taxi. Saya melihat di pintu gerbang terdapat mobil ambulan yang baru saja masuk dengan membawa jenazah yang akan dikebumikan. Tanpa berpikir lama, saya bergegas masuk ke komplek pemakaman tersebut. Memang tidak begitu sulit untuk menemukan pemakaman beliau bertiga, karena sebelumnya saya sudah mempelajari nomor blok dan tanda-tanda di sekelilingnya melalui channel youtube.
Hal yang harus diwaspadai biasanya adalah laskar penjaga makam yang tidak mengijinkan pengunjung mendekat ke pemakaman tertentu. Ya memang tradisi dan cara keberagamaan berbeda dengan apa yang kita alami di Indonesia. Memang kami sempat diusir saat di makam Mbah Moen. Namun hal itu tidak terjadi ketika singgah di pemakaman Mbah Muslih.
Area pemakaman mbah Maemun Zubair dipisahkan oleh jalan raya. Untuk menuju ke pemakaman Mbah Muslih, saya harus menelusuri jalan (trowongan) di bawah jalan raya tersebut. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan pemakaman beliau kala itu di sebelah blok 24. Langkah demi langkah, saya menuju ke tempat tujuan ke dua yakni makam mbah Muslih. Luar biasanya, jarak 2 meter sebelum ke makam beliau, mendadak jiwa saya meronta. Seketika air mata ini berlinang tiada terbendung. Rasanya masih tidak percaya jikalau saya sudah sampai di makam beliau. Saya benar-benar tidak bisa berkata apa-apa selain merasakan Syukur atas nikmat Allah yang sudah memperjalankan saya. Saya butuh waktu 5 menit untuk menenangkan diri sebelum melakukan tahlil dan doa di sana.
Saya merasakan benar betapa besar energi yang terpancar di makam simbah Muslih. Tidak lupa saya juga berdoa di samping makam beliau agar rekan-rekan keluarga besar Futuhiyyah dan Al-Mubarok bisa diperjalankan ke makam beliau. Rasanya ada sebuah ikatan batin yang tersambung di sana antara guru dan murid. Ketersambungan itu saya yakin bisa terjadi manakala kita sebagai santri tidak pernah lupa untuk mendoakan jasa-jasa guru kita. Tidak terasa, waktu sudah menjelang maghrib, saya mencoba sempatkan ke pemakaman syekh Nawawi yang lokasinya tidak jauh dari makam Mbah Muslih.
Lahumul Fatihah,
Semarang, 24 November 20
Pukul 22.45 Wib
Ma’as Shobirin
Alumni PP. Al Mubarok (2001-2004)
Iya kang maas semoga allah memudahkan kami dan kawan”santri semuanya…Aamiiinn.